Thursday, January 20, 2011

Rasanya.......

Jika berhubungan dengan makanan, ada pedas, asin, manis, asam atau campuran dari beberapa rasa. Yang mana yang enak, suatu hal yang sangatlah subjektif. Namun yang paling menyiksa jika seseorang suka suatu rasa, semisal pedas, namun karena suatu dan lain hal, orang tersebut tidak dapat lagi mengonsumsi makanan pedas, bisa karena orang tersebut mempunyai penyakit maag(lambung)

Dan jika menyangkut hati atau perasaan orang, rasa adalah yang brhungan dengan hati. Senang, susah, jatuh cinta, marah, benci dan masih banyak poerasaan yang lain. Hal ini juga merupakan sesuatu yang subjektif, seperti rasa makanan. Yang dapat menilai adalah individu per individu. Dan yang lebih mencengangkan, rasa tidak ada takaran atau standarnya.

Lalu mengapa saya membahas sesuatu tentang rasa, suatu hal yuang tidak terukur dan subjektif? Karena saya merasa hal ini adalah kelebihan manusia. Segala kegiatan tentulah berhubungan dengan rasa. Dan itu berpengaruh kepada hasil akhir suatu kegiatan. Entah dari kualitas dari hasil maupun waktu yang dibutuhkan oleh individu untuk mencapai suatu tujuan.

Kadang kala saya merasa kasihan dimana ada orang yang takut atau khawatir jika pekerjaannya tergantikan oleh orang lain, yang lebih mengenaskan jika ada orang yang ketakutan jika profesinya tergantikan oleh mesin. Bukanlah robot atau mesin tidak mempunyai perasaan? Bukankah kita sebagai makhluk yang dikaruniai perasaan akan mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan robot ataupun mesin? Lalu akan muncul pertanyaan, mengapa diciptakan mesin? Orang menciptakan mesin karena kita butuh standarisasi produk, dan efisiensi. Namun kalau tidak ada manusia, apakah mesin atau robot akan 'ada' dan lebih jauh lagi dapat beroperasi? Bukankah mesin juga membutuhkan manusia. Dan yang lebih mendasar lagi, apakah anda percaya jika rejeki itu adalaj karunia Yang DiAtas dan Dia tidak akan memberi cobaan melebihi kemampuan umat-Nya? Jika ya maka pergunakanlah hati sebaik-baiknya dan jagalah kondisinya. Dan pertanyaan terakhir setujukah anda dengan pandangan saya?

Saturday, January 8, 2011

Rapor

Bagi yang masih sekolah, mungkin sekarang saatnya pengembalian rapor karena habis libur tengah semester, kalau anda sedang kuliah, sekarang ini masa dimana jantung anda berolahraga, menantikan hasil mata kuliah yang anda tempuh selama setengah tahun yang lalu. Namun disini saya bukan ingin membahas rapor seperti bayangan anda. Melainkan 'Rapor kehidupan'.

Aneh??? Sedikit aneh menurut saya kehidupan ini bak kita menempuh pendidikan. Dimana banyak mata pelajaran yang harus kita ambil, dan di tiap mata pelajaran memiliki nilai. Kalau anda binggung dan tidak percaya mari kita bahas lebih mendalam.

Kita akan bernostalgia dengan keadaan atau situasi sewaktu di SD. Tentunya kita semua pernah menempuh pendidikan itu. Simpel saja, di SD ada mata pelajaran Agama. Di kehidupan ini mata pelajaran tersebut akan kita ikuti sampai kita 'kembali kepadaNya. Suatu yang berhubungan dengan kedekatan kita pada Sang Pencipta. Ada juga pelajaran PPKN(jaman saya sekolah lebih dikenal dengan PMP), pelajaran tentang moral, kalau pelajaran Agama bersifat vertikal, maka PPKN lebih bersifat horisontal, namun tetap pondasi atau dasarnuya adalah hati. Lalu ada pelajaran IPS, yang mengajak kita lebih menjadi makhluk sosial, dan IPA yang berhubungan dengan alam.

Lalu apa yang menjadikan menarik? Ternyata hidup lebih kondisional, dimana kita dihadapkan pilihan mata pelajaran mana yang akan kita prioritaskan. Tidak seperti sekolah, dengan belajar supaya dapat mengerjakan ujian, maka nilai di rapor kita tentu akan bagus semuanya. Di saat kita ingin menjadi makmur, maka banyak cara yang bisa kita tempuh untuk mencapai tujuan kita. Jika ongin cepat makmur, maka konsekuensinya akan ada nilai di rapor kita yang merah. Contoh extrem dengan berjudi(walau sebenarnya hidup adalah perjudian), atau menipu orang.

Memang kita bisa mendapat nilai yang sedang-sedang di semua mata pelajaran, namun konsekuensinya tujuan kita juga akan lamban juga tercapainya. Nah, sekarang nilai rapor kehidupan anda sepenuhnya ada di tangan anda, mau mengorbankan salah satu mata pelajaran, atau anda lebih memilih nilai yang rata-rata namun hidup tentram. Selamat menjalani hidup ini.....

Thursday, January 6, 2011

Korek Api

Barang yang kecil, sepele, tapi banyak manfaatnya. Bayangkan jika tidak ada korek api, betapa susahnya ibu-ibu rumah tangga jika ingin memasak(terutama beberapa tahun yang lalu sebelum adanya kebijakan gas 3kg). Betapa susahnya juga bagi perokok( kebetulan saya juga seorang perokok).

Namun bukan itu semua yang mengelitik pikiran saya, saya kebetulan juga memiliki kertetarikan dengan green living(mungkin saya belum dapat mengaplikasikan dari hal yang kecil, karena saya perokok). Terlepas dari itu semua, saya hanya ada sebuah pemikiran yang mungkin sepele tapi mungkin akan menjadi bahan yang menarik untuk disimak. Antara keekonomisan suatu barang dan green living, dua hal yang sangat bertolak belakang.

Dari banyaknya merk korek api gas, ada salah satu merk korek api(Cri***t) yang tidak dapat diisi ulang. 'Lalu apa yang meresahkan anda jika suatu korek api tidak bisa diisi ulang, toh harga korek api gas berapa sih? Sehingga hal tersebut memancing anda untuk membahasnya'Mungkin pertanyanyaan-pertanyaan ini yang akan muncul di benak pembaca.

Mari kita lihatdari segi ekonomi, secara bisnis perusahaan itu telah dengan baik menerapkan strategi bisnisnya, dimana orang diharuskan membeli korek api jika gasnya telah habis. Perlu juga untuk para pembaca ketahui, harga korek api merk Cri***t lebih mahal dari korek api merk lain yang dapat diisi ulang. Tapi coba pembaca bayangkan, berapa plastik yang digunakan pabrik tersebut untuk berproduksi selama sebulan, dan itu juga berarti sama dengan banyaknya limbah plastik yang dihasilkan oleh konsumen korek api tersebut. Kita juga tahu bahwa plastik adalah zat yang tidak mudah terurai dan tidak ramah lingkungan.

Ya begitulah sulitnya menerapkan green living, seperti halnya lampu LED ataupun solarcell, karena harganya masih mahal, maka masih sedikit sekali orang yang memanfaatkannya, dan karena alasan ekonomis inilah yang membuat orang tidak bisa menerapkan green living. Mungkin anda juga akan bertanya dengan kebiasaan saya merokok, sementara saya belum berkomitmen untuk berhenti, namun proses untuk pengurangan konsumsi sudah saya lakukan walaupun belum signifikan. Maka dari itu saya belum berani mengajak pembaca untuk berkomitmen dengan green living :)

Saturday, January 1, 2011

Uang

Kalo kita bicara tentang uang, tidak akan ada habisnya, karena pokok bahasannya sangat luas. Dari fungsi utama dari uang yaitu sebagai sarana bertransaksi, sampai pengaruh negatif dari uang. Sebenarnya pengaruh yang terjadi yang 'diakibatkan' oleh uang merupakan efek akibat keserahan manusia.

Tidak jarang kita dengar ada keretakan hubungan antar sesama manusia yang diakibatkan karena uang. Entah itu hubungan persaudaraan(darah) ataupun hubungan pertemanan. Sehingga banyak pendapat dari kawan-kawan saya bahwa uang itu jahat. Sebaiknya pertemanan jangan sampai ada sangkut pautnya dengan uang. Uang itu jahat. Kata mereka, namun menurut saya itu juga tergantung dari pribadi masing-masing manusianya. Jika ada niat buruk, tentulah akan ada kejadian yang kurang menyenangkan akan menyertainya.

Pernah suatu hari, saya 'memberi harga' konsumen dengan sejumlah uang. Hal ini terjadi karena niat baik saya untuk menolongnya akhirnya disalahgunakan. Selama ini bisnis saya dijalankan dengan sistem tunai, karena suatu kasus khusus, sang pelanggan bercerita tentang kesulitannya kepada saya, setelah saya pertimbangkan akhirnya saya putuskan untuk menolong. Pertama-tama pembayarannya tepat waktu, sesuai dengan apa yang telah dijanjikan. Namun lama-kelamaan konsumen itu mempergunakan kesempatan yang telah saya berikan. Mulai dari pembayaran yang tidak tepat waktu, namonalnya pun tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan. Dan pada suatu waktu, hilanglah si konsumen tersebut.

Saya coba menerapkan 'manajemen ikhlas', mungkin rejeki itu belum menjadi hak saya atau saya kurang berderma, jadi inilah saatnya berderma dengan cara yang lain. Namun hal itu baru muncul setelah beberapa saat setelah kejadian tersebut, pada saat kejadian banyak hal yang berkecamuk dalam kepala saya. 'Apa benar nilai konsumen itu hanya X rupiah?', 'Apakah dia lebih memilih X rupiah daripada harga dirinya?', dan pikiran-pikiran negatif yang lain.

Dan pada Misa Natal(kebetulan saya beragama Katholik) saya mendapat pandangan baru. Kerjakan sesuatu dengan sungguh-sungguh, dan anda tidak akan menemui satu titik puas jika segala sesuatunya hanya ditakar dengan uang. Uang itu penting, namun hanya sebagai sarana. Yang terpenting dalam hidup ini adalah ketulusan dalam menjalankan segala sesuatu dengan sepenuh hati.

Bagaimana dengan anda? Setujukah dengan pandangan saya terhadap'uang' dan maukah anda melakukan segala sesuatu dengan sepenuh hati?(Walau terkadang, melakukan suatu hal tanpa pamrih itu suatu hal yang susah :) )